Gangguan Jiwa Bukanlah Penyakit?

Semalam, saya sempat menjadi narasumber dari sebuah podcast yang diadakan oleh seorang kenalan di Surabaya, awalnya membahas tentang kaitan medis dari kondisi yang dialami oleh Buto Ijo, seorang tokoh yang menjadi bagian dari cerita rakyat bernama Timun Mas. Dari situ pun, tiba-tiba ada bahasan menarik tentang gangguan jiwa sendiri. Saat itu, si pewawancara menanyakan soal “apakah kondisi tersebut bisa mengarah juga ke penyakit jiwa?”. Saya waktu itu sempat mengoreksi dan menyatakan bahwa kurang tepat untuk menyebutkan kata serupa “penyakit jiwa”. Kata yang selama ini dapat diterima adalah “gangguan jiwa”.

Tetapi… kenapa?

Sebelum menjawab hal tersebut, tidak ada salahnya juga bagi kita untuk melihat kembali definisi dari gangguan jiwa itu sendiri. American Psychiatric Association (APA) menyebutkan tentang definisi gangguan jiwa sebagai berikut:

Gangguan jiwa sendiri merupakan sebuah kumpulan gejala (sindrom) yang ditandai oleh gangguan secara klinis pada kemampuan kognitif, pengaturan emosi, atau perubahan perilaku yang menandakan adanya gangguan dari proses perkembangan, psikologis, atau biologis dari fungsi mental. Gangguan jiwa sendiri berhubungan dengan disabilitas pada aktivitas sosial, pekerjaan, atau produktivitas seseorang.

Selain itu.. APA juga turut menyebutkan kriteria dari seseorang untuk terkena gangguan jiwa, yakni sebagai berikut:

  1. Ditemukan adanya pola dari kumpulan gejala kejiwaan yang ada pada seseorang.
  2. Konsekuensi dari penderitaan klinis yang dialami (gejala penyakit) atau disabilitas (masalah pada satu atau lebih daerah fungsional otak).
  3. Tidak harus sebuah respon yang diharapkan stressor yang umum dan kehilangan ataupun respon yang buruk pada kejadian kultural.
  4. Mengarahkan kepada disfungsi psikologis dan biologis
  5. Bukan semata hasil dari penyimpangan sosial atau konflik dengan lingkungan
  6. Memiliki validitas diagnostik dengan menggunakan set dari kriteria diagnostik tertentu (signifikansi prognosis, disrupsi psikobiologis, respon kepada pengobatan)

Dari sini.. Mungkin masih belum menjawab kenapa gangguan jiwa itu lebih tepat disebut sebagai gangguan, bukanlah penyakit atau apapun itu.

Sebuah artikel dari jurnal Current Psychiatry yang diterbitkan pada bulan Januari 2009 turut menjelaskan tentang perdebatan tentang apakah gangguan jiwa itu disebut sebagai gangguan atau penyakit. Perdebatan itu diawali dengan definisi dari kata “gangguan (disorder)”, “penyakit (disease), dan juga sindrom (syndrome) yang diambil dari kamus kedokteran Miriam-Webster.

Disitu disebutkan definisinya sebagai berikut.

  • Penyakit (disease) adalah sebuah proses khusus pada tubuh kita yang memiliki penyebab yang spesifik dan gejala yang khas.
  • Gangguan (disorder) adalah sebuah keanehan, atau adanya kerusakan pada fungsi normal tubuh kita.
  • Sindrom (syndrome) adalah kumpulan dari gejala yang terjadi secara bersamaan dan jika terjadi dapat mengarahkan kepada kejadian tersebut.

Untuk menentukan gangguan kejiwaan sendiri dapat tergolong sebagai gangguan atau penyakit, kita harus ketahui beberapa hal sebagai berikut.

  1. Gangguan Jiwa memiliki gejala yang tumpang tindih

Tanda dan gejala dari gangguan jiwa sendiri seringnya tumpang tindih. Contohnya, depresi dan kecemasan sendiri punya beberapa gejala yang serupa dan seringnya terjadi bersamaan. Gejala bipolar mania dan skizofrenia pun punya gejala psikotik serupa ataupun kekurangan kognitif yang sama. Gangguan obsesif kompulsif (OCD) pun dapat juga menjadi gejala waham pada psikotik.

  1. Kondisi neurobiologis yang sama.

Beberapa kategori diagnostik pada cabang psikiatri sendiri memiliki aspek neruobiologis yang sama seperti:

  • Jalur neurotransmitter yang sama (serotonin, dopamin, norepinefrin, atau glutamat)
  • Kelainan struktural dalam pencitraan (atrofi kortikal, kelainan white dan/atau gray matter), atau
  • Kecenderungan genetik

Komorbid kondisi medis dan juga kondisi psikiatri sendiri sering terjadi pada semua gangguan kejiwaan, seperti contohnya pada migrain, nyeri kronis, diabetes, obesitas, penyalahgunaan alkohol, dan lainnya)

  1. Obat yang tidak spesifik.

Beberapa obat yang digunakan untuk kondisi kejiwaan tertentu dapat juga digunakan untuk mengatasi beberapa gangguan kejiwaan lainnya, seperti:

  • Selective serotonin reuptake inhibitor yang selama ini digunakan untuk pengobatan depresi, dapat juga digunakan untuk serangan panik, fobia sosial, Obsessive Compulsive Disorder (OCD), atau fibromyalgia (nyeri pada otot-otot di tubuh)
  • Obat antipsikotik atipikal yang selama ini digunakan pada kondisi skizofrenia, dapat digunakan juga dalam setting pengobatan bipolar, atau pengobatan pada beberapa gangguan kejiwaan yang tidak mempan jika diobati dengan pengobatan awal, seperti depresi atau Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)
  • Obat antikonvulsan (anti kejang) yang selama ini dipakai pada kasus epilepsi, dapat juga digunakan untuk kasus bipolar, penyalahgunaan obat, perilaku agresif, dan lainnya.

Jika melihat dari fakta-fakta tersebut, dapat dinyatakan bahwa gangguan jiwa lebih dekat kepada gangguan ketimbang penyakit itu sendiri. Hal ini dikarenakan gejala yang dialami oleh kondisi gangguan jiwa itu sering tumpang tindih, dan juga penyebab yang ada pun masih belum begitu spesifik. Hingga saat ini pun, belum ada pendeteksi laboratorium khusus, ataupun semacam marker laboratorium untuk melakukan skrining ataupun deteksi pada kondisi gangguan kejiwaan. Hal ini semakin mendekatkan kondisi gangguan kejiwaan sebagai sebuah gangguan sendiri, karena dalam standar diagnosis yang sudah ada pada gangguan jiwa (DSM-V) itu, salah satu kriteria dari gangguan jiwa adalah adanya abnormalitas yang mengarah kepada penurunan fungsi kerja manusia.

Meskipun itu, masih perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terkait gangguan kejiwaan sendiri, hingga nantinya bisa ditetapkan bagaimana arah jelasnya baik itu dari jalur syarafnya ataupun dari perilakunya.

Jika teman-teman sendiri merasa memiliki gangguan kejiwaan, atau merasa ada yang kurang dalam cara berpikir ataupun berperilaku, teman-teman bisa mengkonsultasikannya ke Psikiater ataupun Psikolog yang juga tersedia di Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala.

Rumah Sakit ini memang bergerak khusus di bidang pelayanan kesehatan jiwa dan terletak di pusat Kota Yogyakarta. Letaknya tepat berada di Jl. Jayaningprangan No. 13, Kec. Pakualaman. Jika teman-teman berniat untuk konsultasi, bisa booking terlebih dahulu dengan mengontak via WhatsApp ke 0815-2461-7175.

Sumber Artikel:

  1. Nasrallah, HA 2009. ‘Diagnosis 2.0: are mental illnesses diseases, disorders, or syndromes?’, Current Psychiatry, vol. 8, no. 1, dilihat 1 Oktober 2021
  2. Stein DJ, Philips, KA, Bolton, D, Fulford, KWM, Sadler, JZ, & Kendler, KS 2010. ‘What is a mental/psychiatric disorder? From DSM-IV to DSM-V’, Psychological Medicine, vol. 40, no. 11, dilihat 1 Oktober 2021

Ditulis oleh : dr. Farhandika Mursyid (Dokter Umum, Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *