Oleh : apt. Nurfidho Rochmafihro, S.Farm

Kesehatan jiwa bukanlah sesuatu yang jauh atau abstrak justru sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan umum. Tanpa jiwa yang sehat, akan sulit menghadapi tekanan hidup, menjalin hubungan yang bermakna, dan menjalani aktivitas produktif (WHO, 2022). Di Indonesia, isu kesehatan jiwa kian nyata dibuktikan oleh berbagai penelitian terbaru. Misalnya, survei Mental Health Problems Among Indonesian Adolescents (Pham et al., 2024) menemukan bahwa masalah kesehatan jiwa sangat umum dijumpai di kalangan remaja, dengan variasi prevalensi tergantung jenis kelamin, lokasi geografis, dan status sekolah. Survei nasional Exploring Mental Health Issues and Priorities in Indonesia menemukan bahwa sekitar 5,1% remaja terkena depresi dan hampir 9,8% mengalami gangguan emosional dan mental yang mungkin tidak terdiagnosis (Basrowi et al., 2024). UNICEF (2024) juga melaporkan bahwa sekitar sepertiga remaja yang jumlahnya mencapai 15,5 juta orang mengalami tantangan kesehatan mental, meskipun hanya sebagian kecil yang mendapatkan dukungan layanan profesional.
Dalam konteks itulah apoteker memiliki posisi strategis. Apoteker sering kali adalah tenaga kesehatan yang paling mudah diakses masyarakat. Masyarakat mendatangi apotek lebih sering daripada klinik khusus jiwa, lebih cepat menemui apoteker dibanding psikiater, dan apoteker bisa menjadi pintu masuk pertama ketika seseorang mulai merasakan ada yang tidak beres, meskipun mungkin belum tahu bahwa itu masalah kesehatan jiwa. Ketika seseorang membeli obat tidur berkali-kali, atau sering mengeluh keluhan fisik yang tidak jelas asalnya seperti ketegangan, gangguan tidur, sakit kepala, apoteker bisa mengambil peran deteksi dini dengan bertanya ringan, mendengarkan, dan memberi edukasi.
Satu penelitian terkini sangat relevan adalah Pharmacist–Psychiatrist Collaborative Patient Education (Mishra et al., 2025) yang dilakukan di India. Dalam penelitian ini, pasien dengan depresi dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kolaboratif, di mana apoteker dan psikiater bersama-sama memberikan edukasi kepada pasien, dan kelompok kontrol dengan perawatan biasa. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang menerima edukasi kolaboratif memiliki peningkatan signifikan dalam kepatuhan minum obat (medication adherence) serta dalam kualitas hidup terkait kesehatan (Health-Related Quality of Life, HRQoL) dibanding kelompok kontrol (Mishra et al., 2025). Ini memperlihatkan bahwa apabila apoteker diberdayakan dalam tim perawatan jiwa, manfaatnya nyata, bukan hanya gejala yang membaik, tetapi kesejahteraan pasien secara keseluruhan meningkat.
Data survei dan penelitian di Indonesia mendukung urgensi peran apoteker. Survei Exploring Mental Health Issues and Priorities in Indonesia (Basrowi et al., 2024) mencatat bahwa jumlah psikiater di Indonesia relatif sangat sedikit, sekitar 0,3 psikiater per 100.000 orang (Basrowi et al., 2024). Dengan sumber daya spesialis yang terbatas itu, apoteker dapat menjadi mitra penting dalam memperluas akses layanan kesehatan jiwa terutama di daerah yang kurang terlayani. Selain itu, studi kualitatif Perceptions of Mental Health Challenges and Needs (Yani et al., 2025) menunjukkan bahwa di kalangan remaja, kesadaran akan literasi kesehatan jiwa masih rendah. Banyak dari mereka yang tidak mengenali gejala depresi atau kecemasan sebagai kondisi medis, mereka kadang menganggapnya “normal”, merasa malu atau takut stigma, dan akhirnya terlambat mencari bantuan (Yani et al., 2025).
Salah satu aspek konkret peran apoteker adalah dalam meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi obat psikiatri. Non-adherence atau ketidakpatuhan adalah masalah besar yang sering menjadi penyebab pasien kambuh atau mengalami rawat inap ulang. Sebagai contoh, review oleh Syrnyk et al. (2023) mengidentifikasi bahwa berbagai intervensi yang melibatkan apoteker, baik dalam edukasi, pemantauan efek samping, pengelolaan interaksi obat memiliki efek positif terhadap kepatuhan pengobatan pasien dengan gangguan jiwa. Intervensi-intervensi ini juga sering meningkatkan pemahaman pasien mengenai manfaat jangka panjang penggunaan obat, dan membantu mengurangi kecemasan mereka terhadap efek samping.
Contohnya lagi, model Si-Care (Schizophrenia Care) di Indonesia (Cahaya et al., 2024) memperlihatkan bahwa ketika apoteker diintegrasikan ke dalam tim perawatan pasien skizofrenia, kepatuhan minum obat meningkat, dan fungsi kognitif serta kualitas hidup pasien juga menunjukkan perbaikan. Penelitian-penelitian lokal seperti ini sangat penting karena disesuaikan dengan konteks budaya, sistem layanan kesehatan, dan hambatan nyata di lapangan.
Soal edukasi dan stigma, penelitian Yani et al. (2025) menemukan bahwa hal-hal seperti tekanan akademik, ekspektasi sosial, media sosial, dan isu harga diri (self-esteem) adalah faktor stres utama pada remaja. Banyak dari remaja tersebut menginginkan pendidikan kesehatan jiwa yang lebih komprehensif di sekolah, dukungan yang lebih nyata dari guru dan orang tua, serta ruang aman untuk membicarakan kesulitan mereka. Di sinilah apoteker bisa masuk sebagai figur yang bukan hanya memberikan obat, tetapi juga pendengar, pemberi informasi terpercaya, dan pendorong agar pasien mau membuka diri dan mendapatkan bantuan profesional.

Tentunya, hambatan-hambatan dalam pelaksanaan peran ini tidak kecil. Regulasi terhadap obat psikotropika sangat ketat demi mencegah penyalahgunaan, tetapi bisa menjadi penghalang jika prosedur birokrasi terlalu berat, stok obat sulit, atau apotek tidak terletak di daerah strategis. Di sisi lain, stigma bukan saja dirasakan oleh pasien tetapi kadang oleh keluarga dan masyarakat; studi Yani et al. (2025) mengingatkan bahwa stigma budaya dan kepercayaan bahwa “sakit jiwa = kelemahan moral atau kekurangan iman” masih melekat di beberapa komunitas. Pelatihan formal kepada apoteker dalam komunikasi empatik, literasi medis jiwa, dan cara konseling ringan sering kali tidak menjadi bagian besar dalam kurikulum. Selain itu, beban kerja apotek termasuk tugas administratif, pengelolaan stok, keharusan melayani banyak pasien membatasi waktu yang bisa digunakan apoteker untuk interaksi mendalam dengan pasien.
Untuk mengatasi kendala tersebut, ada beberapa rekomendasi berdasarkan temuan penelitian terkini. Pertama, perlu dikembangkan program pelatihan berkelanjutan bagi apoteker dengan modul yang spesifik pada kesehatan jiwa: pengenalan gangguan psikiatri umum, efek samping obat, strategi komunikasi, teknik konseling ringan, deteksi dini gejala stres dan depresi. Kedua, integrasi apoteker dalam tim perawatan mental secara formal misalnya dalam klinik jiwa, pusat layanan kesehatan primer, atau rumah sakit, sehingga apoteker memiliki jalur rujukan dan kolaborasi yang jelas dengan psikiater dan psikolog. Ketiga, promosi literasi kesehatan jiwa di masyarakat, termasuk lewat apotek sebagai titik edukasi: brosur, leaflet, konsultasi gratis, sesi tanya jawab, dan kampanye lokal. Keempat, penguatan kebijakan dan regulasi agar akses ke obat psikotropika yang dibutuhkan aman dan memadai, prosedur tidak berlebihan, serta dukungan pemerintah dalam penyediaan obat dan layanan kesehatan jiwa yang terjangkau.
Akhirnya, penting diingat bahwa kesehatan jiwa adalah usaha kolektif. Apoteker bukanlah pengganti psikiater atau psikolog, tetapi mereka bisa menjadi mitra strategis yang memperluas akses, meningkatkan kepatuhan, mempercepat deteksi, dan menumbuhkan lingkungan yang mendukung bagi pasien dan masyarakat. Dengan pengetahuan yang tepat, empati yang tulus, dan sistem yang mendukung, apoteker dapat membantu banyak orang menjalani kehidupan dengan jiwa yang lebih sehat dan bermakna, karena tubuh yang sehat belumlah cukup jika jiwa masih terluka.
Sumber :
- Basrowi, R. W., et al. (2024) ‘Exploring Mental Health Issues and Priorities in Indonesia’, Clinical Practice & Epidemiology in Mental Health, 20, e17450179331951.
- Pham, M. D., et al. (2024) ‘Mental Health Problems Among Indonesian Adolescents: Prevalence, Risk and Protective Factors’, Society for Adolescent Health and Medicine, Article S1054139X24003768.
- UNICEF (2024) Adolescent Health Profile: Indonesia 2024, UNICEF Indonesia.
- Mishra, A., et al. (2025) ‘Randomized Controlled Trial to Assess Medication Adherence and Health-Related Quality of Life through a Collaborative Pharmacist-Psychiatrist Approach to Patient Education in Patients with Depression’, Frontiers in Psychiatry, Article 1499893.
- Syrnyk, M., et al. (2023) ‘Pharmacist Interventions in Medication Adherence in Patients with Mental Health Disorders: A Scoping Review’, International Journal of Pharmacy Practice, 31(5), pp. 449-462.
- Cahaya, N., et al. (2024) ‘Pharmacist-led Si-Care (Schizophrenia Care) Model and its Impact on Medication Adherence and Cognitive Function in Indonesia’, Journal of Mental Health Policy and Practice.
- Yani, D. I., et al. (2025) ‘Perceptions of Mental Health Challenges and Needs among Indonesian Adolescents: A Qualitative Study’, PMC, Article PMC11747947.